Rabu, 16 Desember 2015

SEDEKAH MEMBUKA PINTU JODOH

Hasil gambar untuk SEDEKAH MEMBUKA PINTU JODOHSEDEKAH MEMBUKA PINTU JODOH Selain menyambung hubungan baik dengan kerabat sekantor, kebiasaan mengumpulkan infaq telah mempertemukan saya dengan jodoh.

----------

Malam selalu menepati janjinya, esok, pagi pasti tiba. Malam itu, saya menyiapkan bukti pembayaran infaq teman-teman sekantor yang biasa saya koordinir. Saya akan menepati janji, besok pagi, saya mendatangi mereka satu persatu, mengambil uang infaq, dan memberikannya kepada lembaga amil zakat kepercayaan kami.

Bekerja di malam hari dengan ratusan bukti pembayaran memang butuh tenaga ekstra. Apalagi, pagi sampai sorenya saya sudah berletih-letih melaksanakan tanggungjawab di kantor, Pabrik Kertas Tjiwi Kimia. Tapi anehnya, meski pekerjaan tambahan ini saya laksanakan tanpa sepeser pun upah, namun saya tetap semangat menuntaskannya. Mungkin, motivasi saya meningkat berlipat ganda karena kehadiran suami tercinta, Meriyanto, yang setia menemani dan membantu merampungkan amanah itu.

Saya sangat bersyukur atas anugerah Allah yang mempersatukan saya dengan suami 10 tahun silam. Sudah lama saya menunggu kehadiran seorang pria yang sanggup menjaga dan menjadi imam bagi saya. Saya menikah di usia 32 tahun. Sebelumnya saya dikenal oleh teman dan sahabat sebagai pribadi yang tidak pernah menjalin hubungan serius dengan laki-laki.

Meski begitu beberapa teman sudah sering membantu saya, mengenalkan dengan teman laki-lakinya. Saya tidak menutup hati, beberapa kali juga saya coba mengenal mereka satu per satu, namun sayang tidak ada yang cocok.

Di usia yang semakin bertambah banyak membuat orang tua saya cemas. Maklum, orang tua mana yang tidak risau ketika melihat anak perempuannya belum juga menikah di usia yang sudah menginjak kepala tiga.

Berbeda dengan saya, saya malah sudah pasrah atas keadaan itu. Saya menyerahkan semuanya kepada Allah. Bukankah jodoh ada di tangan Allah SWT? Kalau jodoh saya tidak bertemu di dunia, mungkin akan saya temui di akhirat kelak. Ya, kata-kata itulah yang bisa saya ucapkan untuk menenangkan kegalauan orang tua.

Begitulah hidup. Kadang mudah, tak jarang juga susah. Selama masa itu saya hanya bertekad untuk selalu berbuat baik dan berbagi dengan sesama. Karena saya yakin segala amal kebaikan akan dibalas Allah dengan kebaikan pula, bahkan jauh lebih baik.

Selain itu, di sela waktu luang saya aktif mengikuti pengajian atau talim rutin yang digelar di kantor setiap Kamis. Di sanalah saya bertemu dengan suami saya. Dia enam tahun lebih muda dari saya. Karenanya, waktu itu saya menganggapnya sebatas sebagai adik. Namun ternyata ada ketertarikan khusus yang terpancar dari hatinya.

Saya terkejut saat di-khitbah mendadak via telepon. Meri, panggilan suami saya, menelepon orang tua saya selepas shubuh, meminta izin untuk meminang saya. Meski usia kami terpaut cukup jauh, dengan melihat pribadinya yang baik, sungguh-sungguh dan sholeh, orang tua saya pun setuju.

Tapi orang tua suami saya tidak sependapat. Perbedaan usia jadi masalah serius. Karenanya kami pun terpaksa menikah siri terlebih dahulu. Meski begitu kami tidak tinggal satu rumah. Pernikahan siri itu berjalan selama delapan bulan sebelum akhirnya mertua saya mengetahui semuanya.

Karena tidak sepaham, mereka marah dan kecewa. Namun syukur ada paman suami saya yang dapat menjelaskan itikad baik kami melakukan pernikahan siri, karena kami tak ingin terjerumus dalam perzinahan. Alhamdulillah, mertua saya pun akhirnya memberikan restunya. Kini kami sudah dianugerahi dua orang putra. Saya sangat bersyukur atas segala ketetapan Allah ini. Satu doa saya, semoga saya tetap istiqomah dalam berbagi dan berbuat baik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar