Rabu, 09 Desember 2015

Mutiara Di Kampung Halaman


Mutiara Di Kampung Halaman Liburan semester adalah hal yang paling dinantikan oleh hampir seluruh mahasiswa. Pasalnya hiruk pikuk tumpukan tugas dan ujian–ujian tidak akan kami dengar beberapa bulan kedepan. Dan liburan kali ini, aku memutuskan untuk berangkat ke rumah Nenek. Nama aku Zukhruf, tapi keluarga dan teman–teman lebih senang memanggil aku Zu. Aku mahasiswa semester 4. Aku punya hobi hiking. Kedengarannya agak ekstrim gimana gitu, secara kan aku nih perempuan tapi hobinya naik–naik gunung.

Ya, mau gimana lagi dong aku emang suka kalau lagi di alam yang terbuka. Bangun tenda, masak–masak, jelajah hutan, nangkap ikan di sungai. Pokoknya seru deh. Tapi sayang, kata Ayah, “anak gadis itu jauh lebih baik kalau berada di dalam rumah,” I know. But I need something different in my live. Kadang aku sempat mikir, enak yah jadi anak laki–laki, mau kemana aja boleh, ngelakuin kegiatan apa aja boleh, pulang jam berapa aja boleh. Nah, kalau perempuan segala tingkah lakunya mesti punya aturan. Susah juga ya jadi perempuan, harus berdampingan dengan peraturan.Tapi kata temanku, jadi perempuan itu enak karena bisa punya surga di kakinya. Kalau dipikir–pikir, benar juga sih. Daripada cuma bisa naik gunung, mending punya surga dong.

Hari pertama liburan di rumah Nenek adalah momen yang tidak akan aku lewatkan begitu saja. Agenda pertama adalah membuka jendela kamar. Kenapa harus jendela kamar? kata Ibu, kalau anak gadis itu harus pagi–pagi ngebuka jendela kamar, mitosnya sih supaya enteng jodoh. Hubungannya? Aku juga nggak tahu pasti, tapi yang namanaya perkataan Ibu–ibu itu mujarab 90 persen loh. Sebenarnya aku buka jendela itu bukan sepenuhnya karena mitos Ibu sih, tapi karena pemandangan dari jendela kamar aku luar biasa bagus, indah, sedap dipandang mata.

Dari depan jendela, langsung berhadapan dengan gunung yang menjulang tinggi dan pohon-pohon hijau berbaris rapi di sekitarnya, tak ketinggalan juga aroma udara pagi yang segar merasuk hingga ke dalam sanubari. Kebayang dong, gimana sejuknya itu udara. Di samping rumah ada kebun bunga. Ada bunga mawar warna–warni, kembang sepatu beraneka ukuran, bonsai dengan berbagai bentuk dan masih banyak lagi jenis bunga lainnya. Udah kayak istana bunga gitu. Perpaduan yang super duper juara dan menjadi alasan kenapa aku betah berlama–lama di depan jendela.

“Zu.. sarapan dulu nak,” suara yang selalu ku nantikan setiap pagi. Siapa lagi kalau bukan suara Nenek tersayang. Mendengar suara Nenek, aku pun melambaikan tangan seolah mengucapkan salam perpisahan bagi pemandangan indah pagi ini. Aku bergegas mandi dan bersiap menemui Nenek. Jilbab pink terpasang rapi di kepala, kupluk abu–abu juga tidak kalah memaniskan penampilan, baju abu–abu dan rok pink dengan corak bola abu–abu menjadi style hari ini. Jangan lupa siapkan camera.

“Loh, kok udah rapi gitu. Mau kemana sih?”
“mm, mau keliling kampung Nek,”
“oh, ya udah, habisin sarapan dulu gih,”
Sarapan sudah beres, saatnya menuju bagasi untuk ngucapin salam pagi sama si Vio. Iya, Vio itu sepeda kesayangan aku. Warnanya biru muda, punya keranjang di depan dan pastinya akan menjadi teman setia seharian ini.

Ku kayuh sepeda menyusuri perjalanan setapak demi setapak sambil memandangi hamparan sawah menguning, gunung menjulang tinggi nan kokoh di seberang sawah, pepohonan berjejer lurus di sepanjang jalan, dan suara burung-burung saling bersiul sahut-sahutan satu sama lain, serta tidak ketinggalan para perempuan–perempuan tangguh yang ikut ke sawah. Sungguh sangat memanjakan mata.

Sepeda semakin ku kayauh dengan cepat, seraya ingin mengetahui kejutan apa selanjutnya yang menanti. Perjalanan kali ini tidak semulus perjalanan diawal. Aku harus beradu dengan tanjakan yang seakan memintaku menguras seluruh tanaga. Tapi itu tidak sia–sia, pemandangan di ujung tanjakan ini tidak kalah indah dari pemandangan yang ku lihat sepanjang jalan tadi. Dari ketinggian ini kita bisa melihat hamparan sawah menguning dari atas jalan dan rumah–rumah penduduk yang terlihat bagai miniatur. Tidak hanya itu, tantangan yang menyenangkan berikutnya adalah meluncur dari atas bukit. Wuiihh, serasa lagi terbang.

Pemandangan terasa berbeda setelah sampai di bawah. Kali ini, aku melihat anak–anak yang sedang berkumpul dan asyik bermain. Aku berhenti sejenak dan membawa Vio menepi di pinggir jalan. “Vio, jangan kemana–mana ya, aku nggak lama kok,” Aku berjalan meninggalkan Vio menuju tempat anak–anak berkumpul. Ku pandangi dengan seksama dari balik pagar. Gelak tawa terdengar jelas di telinga, rupanya mereka sedang asyik memainkan sebuah permainan tradisional yang tidak asing bagiku.

Melihat mereka bermain dengan riang, membuat aku kembali menerawang, mengingat masa kecilku bersama teman–teman. Ya, dulu kami sering memainkan permainan itu, namanya egrang. Sebuah permainan tradisional yang terbuat dari dua pasang bambu bulat yang panjangnya bervariasi, mulai dari 2 meter hingga 3,5 meter dan diberikan pijakan kaki pada bagian bawahnya. Jarak antara ujung bambu bawah dengan tempat pijakan, rata–rata hingga 1 meter

Cara memainkannya memang sedikit sulit bagi pemula. Hal pertama yang harus dilakukan adalah berusaha berdiri tegak di atas egrang. Kedua kaki bertumpu pada tempat pijakan dan kedua tangan berpegangan pada bagian atas bambu. Setelah menemukan titik keseimbangan dengan baik, barulah kita mulai melangkahkan kaki perlahan dan berjalan seperti biasa. Sungguh sangat sulit dan menguras tenaga, tapi tetap menyenangkan.

Ketika sedang asyik mengambil foto mereka sedang bermain, tiba–tiba saja terdengar suara teriakan.
“Zuuu, Zuuu, Zukhruf,”
Aku berbalik sambil memandangi seorang pemuda yang sedang menghela napas dengan terengah–engah. Dia memandangiku seraya tersenyum.
“masih ingat aku?”
“mmm,” aku berpikir beberapa saat, “maaf, siapa?”
Dia kembali tersenyum dan mengatakan, “aku Adnan, teman kecilmu dulu,”

Betapa terkejutnya aku melihat dia yang sekarang sangat jauh berbeda dengan Adnan yang ku kenal dulu. Sekarang dia tumbuh menjadi sosok lelaki dewasa dan sepertinya sangat menyenangkan. Setelah berkenalan kembali beberapa saat, dia mengajak aku untuk melihat permainan egrang lebih dekat lagi. Dan ternyata kelompok permainan tradisional itu adalah milik Ayah Adnan yang sekarang ini dikelola oleh Adnan.

Kata Adnan, dia sangat prihatin dengan kondisi masyarakat kita saat ini, khususnya anak–anak. Mereka sudah tidak mengenal kebudayaan lokal yang kita miliki, khususnya permainan tradisional. Mereka hanya mengenal permainan modern yang diperoleh melalui gadget atau teknologi canggih lainnya. Sungguh miris melihat keadaan ini. Padahal permainan tradisional kita tidak kalah menarik dengan permainan modern. Contohnya saja egrang ini. Permaianan yang ramah lingkungan, tidak membutuhkan banyak uang untuk memilikinya. Andai saja seluruh masyarakat mau bersama–sama melestarikan kebudayaan lokal yang kita miliki, sudah pasti Negara kita akan menjadi tujuan utama para wisatawan asing.

Coba pikir, apa yang tidak dimiliki oleh Indonesia. Mulai dari wisata kuliner, pantai yang indah, masyarakat adat, dan masih banyak lagi kekayaan yang dimiliki oleh Negara kita ini, hanya saja kita terlena akan modernisasi yang semakin “menina bobokan” kita. Menjadikan kita manja dengan kehidupan praktis yang serba cepat. Aku tercengang mendengarkan pembahasan Adnan tentang arti penting kebudayaan. Ternyata dia sangat mencintai kebudayaan, khususnya permainan tradisional. Dia seakan mengingatkan aku akan pentingnya memiliki rasa cinta terhadap kebudayaan. Ketika kita merasa memiliki, maka kita akan selalu menjaganya, tidak akan membiarkannya hilang apalagi dirampas oleh orang lain.

Saudaraku, Budaya lokal adalah cikal bakal lahirnya budaya Nasional yang akan menjadi icon atau penanda sebuah Negara. Ketika kebudayaan lokal tidak lagi terjaga, maka Kebudayaan Nasional akan tergerus, dan jika kebudayaan Nasional tergerus, maka tunggulah kehancuran bangsa ini. Oleh karena itu, marilah kita jaga mutiara–mutiara yang tersembunyi itu, dan jadikan dia bersinar sepanjang masa.

Hitam putih November

Hasil gambar untuk cartoonHitam putih NovemberHitam putih November Pertengkaran antara aku dan dia di bulan Juli membuat hubungan kami berakhir. Hubungan yang kami jalin selama dua puluh bulan ini harus berakhir karena keegoisan kami berdua. Rasa cemburu dan kekhawatiran karena terlalu mencintainya ternyata membuatku menjadi sangat sensitif. Perasaan cinta yang masih tersimpan di dalam hati harus aku bawa pergi demi kebaikan kami berdua, di mana aku dan dia berada dalam keadaan yang tidak memungkinkan untuk bersatu. Bukan masalah jarak ataupun masalah perbedaan daerah melainkan perbedaan tempat ibadah. Itu masalah terberat bagiku. Keluargaku tak bisa menerima dan keluarganya pun sebaliknya.

Semakin hari perasaan ini semakin tumbuh. Aku khawatir, jika semakin lama perasaan ini akan terus berakar dan tak bisa ku cabut hingga akar terdalam. Jadi lebih baik aku cabut saat ia masih seumur jagung. Jujur ku akui, ini semua terasa berat. Tak semudah membalikkan telapak tangan. Aku memutuskan untuk tidak lagi berhubungan dengannya lagi. Perlahan-lahan aku mencoba untuk menjauhinya. Rasanya kaki ini sulit untuk melangkah lebih jauh lagi. Hingga suatu hari aku memutuskan untuk melanjutkan pendidikanku di luar kota. Semenjak saat itu aku mulai bisa melupakan angan-angan tentangnya meskipun terkadang kenangan indah masih teringat jelas dalam benakku. Dan pada akhirnya aku bisa menemukan pengganti dia.

Bulan terus berganti dan aku mulai merasakan kebahagiaan dengan lembaran hidupku yang baru dengan pasangan baru pula. Tapi, sesekali dia muncul dalam benakku. Ada saatnya dimana aku merindukan masa indahku dengannya. Ku akui, ini benar-benar sulit untukku. Suatu keadaan dimana diharuskan untuk melepaskan orang yang kita cintai. Dengan sejuta kenangan yang tersimpan dalam memori, hitam putihnya perjalanan yang telah kami lalui bersama-sama. Sangat sulit bukan? Ini pertama kalinya aku mengalami hal seperti ini.

Pernah waktu itu, aku sempat merasakan gagal move on karena dia mulai memberikan perhatiannya lagi untukku dan selalu bersikap manis padaku. OMG! Ini benar-benar situasi sulit untukku karena di sisi lain aku sudah ada yang punya. Saat itu aku merasa bersalah atas perbuatanku yang mungkin bisa dibilang mengkhianati kekasihku sendiri. Tapi di sisi lain aku menikmatinya karena aku juga merindukannya. Sore itu, aku sedang mengikuti les bahasa asing di suatu tempat kursus ternama di kota Bengkulu. Awalnya aku sangat antusias mengikuti pelajaran yang diberikan oleh guruku, namun di akhir pelajaran aku merasa tidak fokus lagi pada pelajaran.

Aku memikirkan seseorang. Seeseorang dari masa lalu yang ku rindukan. Ya, dia Dicky. Aku mengambil handphone dari dalam tasku. ‘hmmm, tak ada kabar darinya’ pikirku. Aku menunggu kabar darinya tapi dia tak kunjung menghubungiku. Akhirnya aku memutuskan untuk menghubunginya duluan. Malam penutupan tabot menjadi saksi kencan butaku yang pertama. Malam yang cerah meski tak ada bintang yang menghiasi sang malam, bagiku malam ini tetap indah meski tanpa bintang dan bulan. Kehadirannya menjadikan malam terasa lebih indah. Ini pertama kalinya aku bertemu lagi dengannya setelah sekian tahun tidak bertemu. Aku merasa seperti mimpi bisa pergi jalan berdua tapi sayangnya ini kencan buta.

Di tengah keramaian para manusia yang tengah menikmati malam tabot, aku dan dia berada di salah dua antara mereka. Karena malam terakhir membuat festival itu sangat ramai dan aku harus berdesak-desakkan dengan pengunjung lainnya. Aku benar-benar risi dengan kedaan itu. Mungkin dia sadar dengan ketidaknyamanan aku saat itu. Dia yang berada di belakangku meletakkan tangannya di bahuku seperti sedang main kereta api waktu kecil. Aku terdiam tapi sebenarnya aku senang. Aku rasa itu adalah bentuk perlindungan dia untukku agar terhindar dari tangan-tangan nakal para pengunjung. Malam ini punya kesan tersendiri yang tak bisa ku ungkapkan melalui kata-kata.

Semenjak hari itu aku dan dia sering berkomunikasi hanya untuk sekedar basa-basi dan mengisi waktu luang. Setiap kali aku melakukannya aku merasa bersalah karena sebenarnya ini tidak boleh terjadi. Aku seharusnya tidak mengkhianati kekasihku yang sudah setia selama setahun ini. dan seharusnya aku tidak boleh lagi ada perasaan pada mantanku. Tapi, terkadang aku berpikir mungkin wajar aku seperti ini karena suatu hubungan yang diakhiri dengan paksaan beserta sejuta cinta yang masih tersimpan.

November tiba. Bulan dimana aku menjalin cinta dengannya. Kali ini adalah november yang ketiga untuk aku dan dia. Sudah dari jauh-jauh hari aku menuggu hari ini. Tapi ternyata ini tak sesuai dengan harapanku. Biasanya dia selalu memberi selamat anniversary meskipun hubungan kami sudah lama putus. Tapi kali ini hanya aku yang memberikannya selamat, padahal sbelumnya kami sempat chatting dan dia sama sekali nggak ada hubungin aku hingga saat ini. Aku sempat merasa kehilangan, tapi aku juga berpikir mungkin dia sudah menemukan penggantiku yang pas di hatinya atau mungkin dia memang sengaja menjauhiku. Aku sempat marah dengannya, meskipun amarah ini hanya ku pendam sendiri. Aku tidak bisa menerima kebiasaan dia yang suka datang dan pergi begitu saja. Dan akhirnya, aku memutuskan untuk berhenti mengharapkan kabar darinya dan aku pun akan menjauhinya.

Berhentilah Mengatakan Jodoh Ku Adalah Kamu

di ambil dari berentilah mengatakan jodohBerhentilah Mengatakan Jodoh Ku Adalah Kamu  Aku hampir selalu bersembunyi ketika sosoknya muncul. Hampir selalu tak bisa bernapas dengan nyaman. Aku tak pernah sepakat untuk tersenyum tiap kali harus berpapasan dengannya. Tapi dia selalu protes. Aku Zakiya Khairunnissa. Murid kelas dua belas salah satu SMA Negeri di Semarang. Aku bekerja keras tiap hari untuk selalu mendapat peringkat terbaik di sekolah. Aku terkenal sebagai orang yang selalu fokus, punya orientasi masa depan yang cemerlang, dan tak punya bakat lain selain belajar -sebenarnya itu sanjungan yang menyindir sih. Dan runyamnya, predikatku itu hampir celaka hanya karena diciderai oleh anak ingusan bernama Zaky, siswa kelas sepuluh yang mengaku-ngaku punya nama sama denganku.

Hal ini bermula ketika MOS berlangsung dua bulan yang lalu. Kebetulan aku dipercaya untuk ikut membimbing kelas sepuluh yang baru karena dianggap sebagai salah satu siswa berprestasi. Jadilah aku sebagai bahan percontohan di depan kelas oleh teman-teman pembimbing yang lain. Mereka berceloteh ria mengenai motivasi berprestasi dan menjadikanku salah satu contoh orang berprestasi dalam bidang akademik di sekolah. Jujur saja hal itu sedikit membuatku terbumbung akan pujian-pujian gombal mereka. Namun dari situlah peristiwa besar terjadi. Yang bahkan cleaning service sekolah pun diam-diam tahu persis bagaimana jalan ceritanya.



“Kalau kalian ingin tetap bertahan di sini, maka jadilah bibit-bibit unggul.” celoteh Tyas dengan senyuman merekah. Hampir dipastikan ia puas dengan kata-kata penutupnya. Adik-adik siswa baru hanya bertepuk tangan dengan kaku. Atmosfir adaptasi baru sedikit sekali terasa di kelas ini.
“Mungkin ada yang mau ditanyakan terkait motivasi berprestasi yang baru saja kami paparkan?” giliran Gita yang berseloroh.

Tampak di kelas X-3 para siswa baru saling lempar pandang, menunggu setidaknya salah satu yang mau mengacungkan tangan untuk bertanya. Dan tidak butuh waktu lama setelahnya, siswa laki-laki berpostur tegap yang duduk di bangku nomor dua dari belakang mengacung. “Saya kak,” ujarnya.
Gita tersenyum, lalu mempersilakan. “Sebutkan nama ya.”
Siswa itu mengangguk. “Perkenalkan nama saya Zaky Putra Hutomo, panggilannya Zaky, ingin bertanya terkhusus untuk Kakak yang namanya kembar dengan saya,”

Deg!

Mata siswa yang mengaku bernama Zaky itu tertubruk dengan pandanganku. Ia tersenyum tipis dan membuat seisi ruangan geger. Aku meneguk ludah karena tahu siapa yang Zaky maksudkan adalah aku. Sorak sorai tengil yang ditengarai teman-temanku membuatku sedikit risi. Pemuda itu kembali melanjutkan, “Tolong Kak Zakiya, sebagai siswa berprestasi di sekolah ini beri sedikit saya penjelasan mengenai hubungan prestasi yang Kakak dapatkan dengan amal ibadah yang selama ini Kakak jalankan.”

Hening.

Seisi ruangan terdiam. Bahkan teman-temanku pun ikut terdiam. Shock question, huh? Siswa laki-laki ini sedikit pintar rupanya. Pertanyaan mengenai sekularisme, mungkin hanya sedikit yang bisa dan berani menjawab. Namun kali ini aku akan mencobanya. “Ehhhm,” aku berdehem. Fokus seisi ruangan terarah padaku.

Aku menghela napas sesaat. “Jadi, sains atau ilmu pengetahuan sejatinya tak bisa dipisahkan dengan agama. Mungkin akan lebih tepat jika dibilang sains adalah salah satu bagian kecil dari agama. Di dalam pedoman hidup kita, Al Qur’an, yang diturunkan lebih dulu dari perkembangan teknologi masa kini, telah menjelaskan beberapa fakta ilmiah yang bahkan peneliti pun takjub karena tidak mungkin di zaman yang belum modern seperti zaman itu, telah mengisahkan hal ilmiah yang misterinya baru bisa dipecahkan akhir-akhir ini. Agama Islam sendiri dianggap sebagai agama yang lurus. Merupakan agama dari Nabi Muhammad sang utusan Allah serta pendahulu-pendahulunya.”

“Nabi Muhammad SAW pertama kali mendapat wahyu yang disampaikan malaikat Jibril yaitu surat Al Alaq ayat 1-5. Di mana ayat pertama berbunyi iqra’ yang artinya bacalah. Nabi Muhammad diperintahkan membaca atas nama Tuhannya. Ini juga mengindikasikan betapa pentingnya membaca, betapa pentingnya berilmu. Bahkan dikatakan bahwa janganlah beramal sebelum berilmu.”
“Nah, hubungan antara ilmu dan amal adalah terkait hukum timbal balik. Barangsiapa berilmu maka harus berbuat, jika tidak, maka ilmu tak ubahnya hanya teori saja. Sedangkan beramal harus diiringi dengan ilmu, karena tanpa ilmu sama saja kita mengerjakan hal yang sia-sia tanpa tahu apa maksud dan tujuannya. Sekian.”

Teman-teman dan segenap siswa baru di ruangan ini takjub. Gita yang semula diam kemudian mulai bertepuk tangan, diiringi oleh orang-orang sekelas. Aku tersenyum simpul. Ku lirik Zaky yang menyunggingkan bibirnya namun terlihat belum puas. “Tapi,” serunya, membuat suasana hening kembali menyelimuti. “Kakak belum menjelaskan hubungan prestasi yang Kakak dapat dengan amal yang selama ini Kakak kerjakan.” Orang-orang mulai berbisik-bisik. Seolah mereka hendak mendorongku jatuh ke jurang setelah sempat menyanjungku beberapa detik. Aku meneguk ludah. Ku lihat Zaky yang masih saja tersenyum tipis, seolah mengejek.

Dadaku bergemuruh. Ku langkahkan kakiku agak maju ke depan. Ku perhatikan baik-baik wajah pemuda ini yang tengah bersedekap tanpa melupakan senyumannya itu.
“Prestasi yang ku dapatkan bukanlah prestasi jika tanpa amalan. Tentu saja dari awal usahaku selalu diiringi dengan doa. Percuma jika pintar akademik tapi tak pintar urusan rohani. Padahal sudah jelas prioritas utama kita di dunia adalah untuk mempelajari ilmu akhirat, barulah setelah itu ilmu dunia. Makanya urusan dunia sama sekali tidak bisa dipisahkan dengan agama. Semua amalan yang aku lakukan haruslah berdasar pada syariat agama lebih dulu barulah didasarkan pada ilmu dunia.”

“Contohnya?” Lagi, Zaky mencoba memojokkanku.

“Contohnya saja kalau kita pintar masak. Semua masakan nusantara hampir bisa kita kuasai. Dan kita tahu ada beberapa masakan yang akan lebih enak jika dicampur dengan olahan daging babi. Namun karena kita tahu syariat agama mengharamkan babi sebagai bahan makanan, maka walaupun kita tahu resep yang akan membuat makanan itu enak, kita akan tetap menghindarinya. Seperti itulah implikasi amal yang kita dahulukan. Kita pintar masak disamaartikan bahwa kita punya ilmu dunia, dan mengindari babi disamaartikan amalan yang kita didahulukan adalah pada ilmu agama. Seperti itu.”

Lagi, Zaky tersenyum, kini dengan senyuman merekah. Ia bertepuk tangan dan membuat seisi ruangan mengikutinya. “Aku tahu Kakak akan menjawab dengan cerdas. Aku suka jawaban Kakak. Sekarang aku baru percaya bahwa tidak semua orang cerdas sudah melalaikan ilmu rohaninya. Aku menyukaimu kak Z-A-K-I-ya.”

Sorak sorai terdengar menggema kencang setelah Zaky mengakhiri perkataannya. Masih terekam suaranya yang menekankan nama ZAKI saat menyebut namaku. Dan kalimat terakhirnya yang kontroversi membuat mataku membelalak. Teman-teman mulai usil menggodaku dengan Zaky, namun aku masih diam. Tatapanku masih tertumbuk pada bocah kurangajar itu. Ia juga tengah menatapku, kini tiba-tiba mengerlingkan matanya. Bergidik adalah reaksi spontanku.

Aku maju ke depan salah satu meja siswa paling depan dan menggedornya beberapa kali -berusaha mengkondusifkan suasana ruangan. Ku tatap tajam pemuda itu. “Dengar kalian semua, terutama kau Zaky. Jangan bertindak tidak sopan terhadap Kakak kelas ya. Saya bukan bahan candaan. Dan saya tidak suka dibercandai seperti itu. Paham?!” Entah mau meloncat ke mana bola mataku ini, mataku melotot tajam dan berhasil membuat seisi ruangan terdiam. Suasana horor tercipta. Bahkan teman-temanku yang tadinya menyorakiku diam seribu bahasa.

Aku mundur ke belakang sedikit dan menghela napas. Zaky tiba-tiba berdiri dari bangkunya. “Tapi aku tidak bercanda, Kak Zakiya. Aku serius saat mengatakan aku menyukai Kakak.”
Aku tidak mengerti lagi dengan pemuda ini. Berulang kali aku mengatur napas agar emosiku tak meledak, tapi ia berhasil memancingnya. Aku kembali sedikit memajukan langkahku.
“Dengar dan perhatikan Adik kelasku Zaky. Kau itu masih kecil, baru lulusan SMP. Berkata-kata tanpa berpikir mungkin masih jadi ciri khasmu. Maka mulai sekarang berhentilah karena kau sudah menginjak bangku SMA. Dan ingat, dalam kamus besarku tidak ada yang namanya suka-menyukai. Kalau mau seperti itu ya lebih baik nikah saja. Ngerti?”

Zaky tertawa kecil. Keningku berkerut tak mengerti mengapa ada orang seberani ini. “Yah Kakak, aku jadi makin suka dengan Kakak kan. Memang benar, pacaran itu riskan dengan zina. Maka izinkanlah saya untuk meminang Kakak 8 tahun ke depan setelah saya lulus kuliah dan mendapat pekerjaan. Kakak pasti akan jadi kado terindah buat saya nanti.”
Sial. Pemuda ini sudah kelewatan batas. Benar-benar tak tahu sopan santun. Seisi kelas memperhatikanku yang hampir kebakaran jenggot. Aku mendatangi bangku Zaky dan berhenti tepat di sebelahnya.

“Sudah ku bilang kan aku tidak suka lelucon semacam ini. Dan asal kau tahu, tidak ada yang bisa mendahului kehendak Allah masalah jodoh. Berani sekali kau berkata ingin meminang dan obral janji kosong. Siapa yang tahu tiba-tiba besok kau meninggal dan janjimu sudah dicatat di akhirat sana sebelum terlaksana. Jadi, jangan pernah lagi mengucapkan kata-kata yang memuakkan. Ini peringatan terakhir.” Semua orang shock mendengarku mengeluarkan sumpah serapah. Aku sendiri hampir tersedak karena berkata kasar dan menghinakan seperti tadi. Sesaat meneguk ludah, aku kemudian berjalan mundur. Aku ke luar dari pintu dan tidak mau mengurusi kelas menjengkelkan itu lagi.



Bahkan setelah aku terang-terangan mendamprat Zaky saat MOS, laki-laki itu masih saja berani menyapaku. Bahkan dengan santainya ia mengajakku ngobrol saat kami tidak sengaja berada di tempat yang sama. Dan ia sempat memberiku ultimatum untuk selalu tersenyum saat kami berpapasan. Laki-laki tak punya urat malu dasar. Seperti sekarang ini, aku berada di perpustakaan lebih dulu tiga puluh menit daripada dia. Zaky mendatangi tempatku duduk, dan menyeret salah satu bangku untuk ikut duduk. Jarak kami terpaut dua bangku. Untung dia masih punya adab untuk duduk sedikit berjauhan dengan wanita.

Aku pura-pura tak bergeming saat dia memanggil namaku. Aku mendengar dia menghela napas. “Jangan dicuekin dong kak. Aku kan cuma ingin ngobrol sebagai teman.”
Sambil masih pura-pura membaca, aku membalas perkataannya, “Sayangnya kau bukanlah temanku.”
“Ya Allah kak. Kakak masih benci ya sama aku? Inget loh kak, batas orang mendiamkan orang lain itu paling lama cuma tiga hari. Lah ini Kakak, udah dua bulan semenjak MOS, masih saja nggak suka sama aku.”

Aku mengalihkan pandanganku yang dari tadi terpatut pada buku. Ku lihat dia sedikit membenahkan tempatnya duduk saat bertatapan denganku. “Harusnya dari awal kau bisa membuatku tidak membencimu. Tapi dari awal juga kau sudah membunuh karakterku. Kini tiap orang-orang melihatku, pandangan yang terlintas di otak mereka hanyalah mengenai skandalku denganmu. Bukan lagi Zakiya yang ramah dan cerdas. Bagaimana bisa aku tidak membencimu, hmm?”

Zaky menghela napas. “Baiklah aku minta maaf. Mungkin aku memang sudah keterlaluan. Tapi kak, aku mengatakan hal seperti itu karena aku bersungguh-sungguh. Kakak tahu sendiri jika aku juga bukanlah orang yang suka dengan hal yang namanya pacaran. Makanya aku mengatakan itu agar Kakak tahu aku ingin berikhtiar untuk mendapatkan Kakak untuk menjadi pendampingku kelak.”

“Astaghfirullahaladzim!” Aku refleks berteriak. Seantero perpustakaan langsung saja menghujaniku dengan tatapan tajam. Bahkan penjaga perpus langsung berkata ‘shhhtttt’ untuk menyuruhku diam. Aku jadi nyengir dibuatnya.
“Jadi bagaimana kak? Kakak mau memaafkanku kan?”

Mendengar kata maaf disebut aku menatap Zaky dengan kesal. Ingin sekali sumpah serapah ke luar dari mulutku ini andai aku sedang tidak sadar. Dengan dada bergemuruh, pada akhirnya aku hanya bisa menghela napas panjang. Aku menyentuh bukuku kembali. Sambil membuka-buka halaman buku, aku berujar, “Sudahlah, belajar dulu dengan benar. Baru pikirkan jodoh. Aku tidak suka orang bodoh asal kau tahu.” kataku pada akhirnya menyerah.
Dari sini ku lihat senyum Zaky mengembang. Dia mengerti aku memberi sinyal. “Berarti aku dimaafkan nih?” Aku diam.

“Kak Zakiya ayolah,”
“Iya iya, berisik sekali sih. Asal kau tak membuatku kesal aku akan memaafkanmu. Puas?”
Lagi-lagi Zaky mengembangkan senyum. “Baik kak. Aku janji mulai sekarang aku tidak akan membuat Kakak kesal. Aku juga akan memberi jarak setidaknya radius lima meter saat kita ada di tempat yang sama. Itu semua agar Kakak nyaman. Agar Kakak terhindar dari fitnah terus-menerus gara-gara aku. Terima kasih kak atas pengertiannya. Ya sudah aku pergi dulu.”

Zaky bangkit dari bangku. Ku lirik dia yang sedang mengembalikkan bangku yang tadi ia duduki ke tempat semula. Ia memandangku lagi. “Sampai jumpa 8 tahun lagi ya kak. Assalamualaikum.”
“Waalaikumsalam,” jawabku lirih. Dasar gila.

Tahu begitu, dari jauh-jauh hari saja aku memaafkannya. Dengan begini kan aku sudah bebas dari pemuda bernama sama denganku itu. Hmm, entahlah.

Selesai