Setelah ganti baju (atau tidak ganti baju) sepulang sekolah, aku langsung menghampiri Mbah (panggilan nenek dalam Bahasa Jawa) yang sibuk membuat kerupuk puli. Kerupuk yang sangat gurih dan nikmat, makanan kesukaan keluarga ku. Aku melihat Mbah yang cekatan mencampur bahan-bahan yang terdiri dari nasi (sisa kemarin), garam, dan ragi puli. Bahan-bahan yang sederhana tapi mampu menghasilkan sesuatu yang berharga. Mbah mencampurnya hingga menjadi adonan yang siap digiling. Sebelum digiling Mbah selalu memberiku segenggam kecil adonan itu untuk dicicipi. Aku menerimanya dengan senang hati.
“Piye, enak?”, tanya Mbah penasaran.
Aku mengangguk, “Enak tenan (enak sekali) Mbah”.
“Gak kurang asin?” tambah Mbah.
Aku menggeleng, “Wis pas Mbah”.
Mbah tersenyum dan mulai menggiling adonan puli itu. Setelah digiling, Aku membantu Mbah mengirisnya menjadi kotak-kotak, macam kerupuk lah. Setelah itu, puli diletakkan di atas tampah kemudian di jemur di atas genteng atau di atas pagar. Sore hari tampah diangkat. Puli yang telah kering, di goreng, jadilah kerupuk puli. Kerupuk itu kemudian di masukkan ke dalam blek (toples kerupuk) dan siap dinikmati. Kerupuk puli seakan menjadi bagian dalam hari-hari keluarga ku, tak pernah kekurangan stok, karena Mbah selalu membuatnya tiap hari (lebih tepatnya jika ada sisa nasi kemarin ;)). Makan nasi tanpa kerupuk puli rasanya hambar. Nonton TV tanpa ngemil kerupuk puli, rasanya gag asyik. Begitulah kerupuk puli, camilan sederhana itu, menjadi sesuatu yang sangat berharga bagi keluargaku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar