Salah satu temanku memasang kuda-kuda, siap menangkap buruan. Ia berdiri, mematung. Tangannya direntangkan, dengan telapak tangan terbuka ke atas. Matanya berputar-putar mencari capung yang terbang ke udara, berharap ada yang mau lewat di atas kepalanya. Tuhan mengabulkan permohonannya. Tak berapa lama, seekor capung bermanuver di samping tubuhnya. Naik. Menukik. Terbang lagi. Dan akhirnya terbang melesat di atas kepala temanku itu. Dengan cepat, secepat kilat, kedua telapak tangan itu bertemu “puk” menangkup, capung itu dapat sekali tepuk, hebat bukan. Manusia diciptakan dengan kelebihan masing-masing. Kami diciptakan dengan kelebihan menangkap serangga.
Ada yang lebih hebat lagi, beberapa temanku bahkan bisa menangkap capung yang sedang terbang di udara bagai menangkap gelembung balon. Mereka hanya tinggal meloncat, melambaikan tangan, capung dalam genggaman, luar biasa. Aku hanya bisa berhasil melakukan itu sekali dua kali, selebihnya gagal.
Meski aku tak begitu mahir menangkap capung yang sedang terbang di udara, aku mahir menangkap capung yang sedang hinggap di ranting atau pucuk daun. Jika ada capung yang hinggap, mataku fokus, tanganku mengambil ancang-ancang beberapa cm di samping buruanku. Setelah aku merasa waktunya tepat (naluri pemburu mode on), aku menggerakkan tangan mendatar, cepat, pasti, sepersekian detik, capung tertangkap. Shock, capung itu terkejut dengan keadaannya sekarang, sayapnya terikat oleh dua jari manusia, tak bisa terbang. Capung itu menggeliat, memberontak. Percuma.
Aku memasukkannya ke dalam plastik yang telah dilubangi kecil-kecil agar capung di dalamnya bisa bernafas. Capung itu berputar-putar, mencari jalan keluar. Percuma. Cukup lama. Putus asa.
Aku mengamati capung yang terdiam itu. Bola matanya yang bundar dan besar berputar-putar. Sungguh lucu. Warna tubuhnya sungguh menawan, di dominasi warna biru cemerlang, berbelang kuning. Sayapnya bening, berwarna-warni, bagai warna pelangi saat memantulkan sinar matahari, sungguh cantik.
Aku duduk, sibuk memandangi capung tangkapanku. Tak peduli dengan perlombaan menangkap capung itu. Satu capung dalam genggaman, itu sudah cukup.
Capung itu mengepak-ngepak. Lemah. Entah mengapa aku kasihan. Ia terlihat pasrah, matanya tak lagi berbinar, sayu. Ia semakin lemah. Oh… aku tak ingin kalau capung ini sampai mati. Makhluk cantik ini tak boleh mati, tak boleh mati karenaku. Aku teringat kata Ibu, kalau aku tak boleh menyiksa binatang, dosa. Oh… Tuhan, apa yang sedang aku lakukan?
Akhirnya aku memutuskan. Kuambil capung itu dari plastik, kujepit sayapnya dengan jariku. Kuangkat ke atas. Ku bebaskan ia. Sayapnya mengepak, sejenak linglung, terbangnya terseok-seok, namun dengan cepat ia menyeimbangkan tubuhnya, terbang ke atas, dan seakan menoleh ke arah ku, berkata “Terima Kasih”. Aku melambaikan tangan dan membalasnya “Sama-sama” (jangan pernah meremehkan imajinasi anak-anak, mereka pengkhayal yang hebat).
Kemudian, capung itu melesat, gesit, ke angkasa, tak terlihat. Aku menatap takzim kepergiannya. Aku merasa lebih bahagia.
Beberapa saat kemudian, temanku menghampiriku, bingung, melihat tanganku yang kosong.
“Ndi kinjeng mu? Gak entuk belas? (Mana capungmu? Tidak dapat sama sekali?)”, tanyanya heran.
Aku tersenyum dan berkata, “Sepertinya kita tidak usah berlomba menangkap capung lagi”.
Aku menunjuk plastik yang dipegang oleh temanku. Tiga ekor capung berebut tempat dan oksigen di dalamnya. Sambil memasang wajah serius aku kembali berkata, “Kalau mereka mati, arwah mereka akan menghantuimu tiap hari”.
Temanku bergidik, sambil tersenyum datar ia berkata, “Ah… enek-enek ae awakmu (Ah… ada-ada saja kamu)”.
Aku hanya tersenyum, melangkah pergi.
Di belakangku temanku itu buru-buru membuka plastiknya. Tiga ekor capung terbang. Bebas. Langit menyambutnya.
Hari-hari berikutnya aku rindu menangkap capung. Kenikmatan dan ketegangan menangkap capung menyergapku. Aku juga ingin melihat keindahan warnanya. Akhirnya, jika tidak tahan, aku menangkapnya, hanya melihatnya sebentar, lalu melepaskannya lagi.
Berbeda dengan capung, belalang mudah ditangkap. Bagi kami mereka tak terlalu gesit. Tapi kami tak begitu suka menangkap belalang. Selain tak ada kenikmatan saat menangkapnya (karena terlalu pasif, tak banyak bergerak, tak ada tantangan), belalang juga sering buang kotoran dan cairan bau saat di tangkap. Alhasil, kami harus cuci tangan bersih-bersih.
Semenjak itu, aku tak pernah menangkap capung dan belalang lagi. Aku cukup bahagia melihat mereka terbang sesuka hati, kesana-kemari, menghias angkasa. Ternyata yang seperti itu lebih indah, melihat mereka bahagia. Tak ada yang lebih bahagia melebihi kebebasan bukan?!.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar